Senin, 27 April 2009

Rumah Bugis

Sebuah kampung pada zaman dahulu kala biasanya terdiri atas sejumlah keluarga yang mendiami antara 10 ( sepuluh ) hingga 200 ( dua ratus ) rumah tangga. Rumah - rumah itu biasanya terletak berderet, menghadap ke Selatan maupun ke Barat, jika terdapat aliran Sungai di Daerah / Desa tersebut, maka akan diusahakan agar rumah – rumah tersebut didirikan / dibangun membelakangi sungai.

Pusat kampung lama orang bugis merupakan suatu tempat yang disakralkan/keramat yang biasa disebut Pocci’ Tana, dengan sebatang pohon beringin yang tumbuh besar dan rindang, seringkali juga ditemukan dengan sebuah rumah pemujaan yang disebut Saukang yang merupakan tempat tinggal Punnana Tana ( Roh Penghuni yang mempunyai tempat/daerah ).

Setelah Islam menjadi agama umum dikalangan suku Bugis, maka pada tiap kampung di samping adanya Saukang, terdapat juga langgar, musallah atau Mesjid tempat umat Islam melakukan salat.

Sebuah kampung dipimpin oleh sebuah kepala kampung yang disebut Matoa, atau Jennang atau Lompo atau To’do dengan sedikitnya dua orang pembantunya yang disebut Sariang dan Parennung.

Suatu gabungan kampung dalam susunan struktur asli disebut wanua dan dipimpin oleh seorang kepala wanua yang di sebut Arung, atau di sebut Sullewatang, atau di sebut Gallareng

Semua kepala / pemimpin baik dari Pemimpin kampung ( Matoa ) sampai kepada Pemimpin Wanua dan kerajaan ( Arung / Sullewatang ) disebut Pakkatenni ade’ atau di sebut Ade’ atau di sebut Parewa tana. Mereka yang disebut Pakkatenni ade’ di tanah Bugis pada Khususnya mempunyai pertalian darah ( Keluarga ) dengan Raja di pusat kerajaan.

Rumah – rumah orang bugis di bangun di atas tiang ( Rumah panggung ),yang terdiri atas tiga susunan, yaitu :

1. Rakkeang : merupakan bagian atas rumah di bawah atap, bagian ini di pakai untuk menyimpan padi dan lain lain untuk persediaan pangan, dan juga di sediakan tempat tempat khusus untuk menyimpan benda – benda pusaka keluarga.
2. Alebola, : Ruangan tempat tinggal manusia, yang terbagi – bagi kedalam ruangan – ruangan khusus untuk menerima tamu, tempat tidur, ruang makan dan dapur.
3. Awasao : adalah bagian bawah lantai panggung, di pakai untuk menyimpan alat pertanian, kandang ayam, ternak lainnya bagi keluarga petani. Pada keluarga pelaut/ Nelayan Awasao dipergunakan untuk menyimpan alat penangkap ikan dan yang berhubungan dengan mata pencarian kehidupannya. Pada Zaman sekarang Awasao ( Bagian bawah rumah ) itu, sering ditutup dengan dinding sehingga dapat digunakan sebagai tempat tinggal manusia atau dijadikan tempat menjual barang – barang keperluan harian ( Warung/Kios ).






Rumah – rumah orang bugis, juga di golongkan menurut kedudukan / Kasta (lapisan sosial ) dari penghuninya, berdasarkan hal tersebut maka ada 3 ( tiga ) macam rumah, Yaitu :

1. >Saoraja, : merupakan rumah besar yang didiami oleh Raja ( Arung ) atau kaum bangsawan. Ciri – cirinya antara lain :berpetak 5 ( Lima ) atau 7 (Tujuh), Timpallaja (Bumbungannya) bersusun 5 ( lima ) bagi Raja ( Arung ) yang berkuasa dan bersusun 3 ( Tiga ) bagi Bangsawan lainnya. Dan mempunyai Sapana yaitu Tangga beralas yang diatapi di atasnya. Pada Orang Bugis , rumah Saoraja yang berpetak lebih dari 7 ( Tujuh ) di Khususkan bagi tempat kediaman Raja Besar ( Arung ) Bone, Soppeng, Wajo.dan Luwu. Yang disebut juga dengan Salassa dengan ciri – ciri sama dengan Saoraja akan tetapi di pekarangan Salassa terdapat petugas Bersenjata ( Prajurit ) yang berjaga dengan pakaian resminya.

2. Saopiti : Adalah rumah tempat kediaman, bentuknya lebih kecil dari Saoraja, berpetak tidak lebih dari 4 ber bubungan 1 sampai 3, tidak mempunyai Sapana/. Biasanya didiami oleh orang baik – baik atau orang orang kaya, atau orang – orang yang berkedudukan dan terpandang dalam masyarakat.

3. Bola to Sama atau Barum Parung adalah rumah tempat kediaman buat orang kebanyakan ( Masyarakat umum ). Rata – rata berpetak 3 ( tiga ) berbubungan lapis 2 dan tidak mempunyai sapana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar